Semangat pagi!
Pagi ini tertanggal 18 Oktober 2020 dan saya sedang membuat desain kerudung eco-print. Dalam masa pandemi ini, saya ingin terus bergerak demi menyelamatkan masa depan saya. Mimpi yang saya miliki adalah alasan saya mencoba segalanya. Ya, meski di detik ini, saya belum menjadi ‘siapa-siapa’. Memangnya kamu bisa? Bisikan itu meminta saya kembali mengukur mimpi disetarakan dengan kemampuan diri. Mungkin, jawab sisi hati saya yang lain. Lalu, ada teguran yang jauh dari sel otak saya, untuk menarik kembali kata mungkin. Sudah lama saya dibentuk untuk dilarang berkata mungkin dan tidak bisa. Sehingga saya menjawab lantang: Saya bisa!
Saya akan ceritakan dari mana pola pikir itu berasal. Pada tahun 2011 lalu, saya duduk di bangku kelas 10 di SMKN 1 ROTA Bayat. Waktu itu akan diadakan ujian akhir kenaikan kelas. Kondisi ekonomi saya sedang tidak mendukung. Uang SPP saya menunggak 8 bulan. Pernah terbersit pikiran untuk putus sekolah. Tapi, semesta menolong saya lewat sayap Titian untuk kembali menerbangkan masa depan. Tahun 2012, saya resmi menjadi penerima beasiswa Titian.
Saya kira diberi beasiswa cukup dengan dibantu uang sekolah saya saja. Namun, Titian lebih dari ekspektasi saya. Hanya dengan kejadian sederhana ketika Mbak Wiwid—pendamping untuk Generasi 4 Titian Bayat—meminta saya mewakili generasi untuk acara buka bersama dengan Ibu Lily dan Mr. Nick.
“Acaranya besok sore. Bisa, Lisa?” tanya Ms. Wiwid.
“Mungkin bisa, Mbak. Karena saya sedang ada acara OSIS juga,” jawab saya.
“Bisa atau tidak, Lisa?” tanya Mbak Wiwid. Baik, jadi, hanya ada dua jawaban. Bisa dan tidak. Mungkin adalah jawaban null.
Bergabung dengan keluarga Titian menjadi extra thing bagi saya—dari kegiatan yang diadakan ataupun dari ambience yang berada di sekitar saya. Saya terbiasa tidak berkata mungkin, bahkan sampai sekarang. Di Titian, keterlambatan tanpa alasan dan tanpa komunikasi tidak ditoleransi, dan saya terbiasa sampai sekarang untuk tepat waktu menepati janji. Titian mengajarkan saya untuk berani tidak salah saat mengungkapkan pendapat, saya juga terbiasa berbicara mengutarakan pendapat.
Saya menyimpulkan: Kepribadian dibentuk dari kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang. Menoleh kembali ke belakang, Titian telah menanamkan sikap-sikap dasar di atas untuk membentuk kepribadian saya.
Hal besar lain yang saya dapatkan dari Titian adalah menentukan aksi saya setelah lulus dari SMK. Kuliah atau kerja. Jujur, dari kecil saya tidak pernah berpikir saya akan kuliah. Tapi, kembali lagi bahwa lingkungan Titian merupakan ambience yang positif. Teman-teman saya yang sudah campus hunting membuat saya terbawa arus mimpi mereka juga. Pendampingan dari Titian semakin dipererat lagi lewat para pendamping dengan konsultasi intensif.
Saya ingin kuliah, tutur saya kepada Mbak Wiwid di konsultasi. Kata pertama yang meluncur dari Mbak Wiwid bukan dukungan persetujuan dulu. Namun, berbagai pertanyaan. Kenapa tidak kerja saja? Kuliah apa? Di mana? Tujuannya apa? Kenapa memilih jurusan itu? Di jurusan itu akan diajarkan materi A-Z, apakah kamu siap?
Bagai ledakan tersendiri di pikiran saya. Saya masih ingat betul betapa dilemanya saya saat itu. Setelah informasi kuliah yang saya dapatkan itu, saya kembali diskusikan dengan Mbak Wiwid. Beliau langsung menepuk pundak saya dan teman-teman saya. “Lanjutkan mimpi kalian. Kelak di masa depan, setelah lulus kuliah, saya hanya akan berpesan. Apapun pekerjaan kalian, asalkan halal, lakukanlah. Jangan membunuh masa depan dengan pemborosan,” kata Mbak Wiwid. Setelah perkataan itu, saya pulang naik sepeda dengan bercucuran air mata. Setelah saya pelajari masa itu di masa sekarang, ternyata Mbak Wiwid sedang memotivasi saya. Beliau ingin saya menyiapkan masa depan dengan sangat matang, bukan memberikan keputusan sembarangan karena terbawa arus mimpi orang. Titian membentuk saya menjadi diri sendiri, melindungi saya dari ambisi tanpa aksi. Saya sangat terharu karena mindset itu benar-benar berarti sampai saat ini.
Sebenarnya banyak sekali hal besar yang saya lakukan dengan Titian. Namun, ini hanyalah cerita singkat yang tidak cukup untuk saya ceritakan semua hal positif di Titian. Sebab, hal kecil yang diberikan saja berdampak sangat besar.
Kembali ke diri saya di tahun 2020 ini. Saya yang pernah menjadi pribadi sangat pemalu, kini berani berbicara tanpa takut salah. Saya yang akan pernah putus sekolah, kini saya sudah lulus kuliah. Saya yang dulu tidak punya mimpi selain bekerja dan menikah, kini saya punya kompas diri untuk menentukan arah.
Terima kasih, Titian. Jika seekor ulat bermetamorfosis untuk mendapatkan sayap, Titian menjadi sayap saya untuk berproses dan metamorphoself—jika saya boleh menyebutkan istilah baru itu. Titian adalah tempat berangkat dari mimpi-mimpi saya. Maka, benar jika Ibu Lily Kasoem memberikan nama Titian yang berarti ‘jembatan’. Saya tidak sanggup membayangkan diri saya tanpa didampingi Titian. Remaja yang tanpa arah dan tanpa tujuan selain bersenang-senang, sedangkan Titian selalu menanyakan tujuan dari setiap aksi yang saya lakukan.
Meski hari ini saya belum mencoret beberapa pencapaian, tapi terkadang mimpi itu tentang berjalan ke depan. Saya masih dan akan terus bangun pagi dengan bersarapan menu harapan. Saya mau, saya bisa, dan saya terus bersemangat meraih impian.
– Lisa Aprilia (Generasi 4)