Berita

Diskusi Kecil Soal Memulai Perjalanan Karir

Akhirnya aku punya kesempatan balik lagi ke Titian Center di desa Bayat, Klaten, Jawa Tengah, setelah lama gagal hadir sejak era pandemi. Keramahan penduduk lokal, keindahan alam desa dan persawahan, antusias pengurus dan anak-anak peserta program Titian seolah mengingatkan bahwa hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan semata buat kerja sampai larut malam sampai lupa istirahat.

Titian adalah sebuah yayasan yang membantu anak-anak usia sekolah untuk bisa punya akses pendidikan yang baik. Sejak sahabat saya Lily Kasoem memulai Titian di tahun 2006, setelah peristiwa gempa Yogya, Titian telah menghasilkan 1.009 alumni yang sebagian besar berasal dari Titian Center di desa Bayat.

Selain di Bayat, masih ada lagi Titian Center di desa Pemenang dan Rambitan di Pulau Lombok. Tapi kehadiran dua center ini relatif baru dan masih diperlukan waktu untuk menuai hasil.

Dari jumlah 1.009 alumni, 57% melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, dan tidak sedikit yang telah mulai berkarir di perusahaan nasional swasta dan BUMN maupun multinasional. Juga ada yang berkarir di militer dan menjadi pengusaha tangguh. Sungguh suatu hal yang tidak terbayangkan sewaktu Yayasan Titian ini baru dimulai.

Mentoring adalah bagian esensial dari kisah sukses ini. Partisipasi para sahabat dan relawan dalam hal mentoring menjadi diferensiasi penting buat Titian. Dan hari itu adalah giliran aku didaulat jadi mentor, buat anak-anak Titian yang segera akan lulus kuliah dan memasuki dunia kerja.

Sejujurnya, aku selalu merasa mentoring mereka yang akan memasuki dunia kerja untuk pertama kalinya sebagai tanggung jawab yang amat besar. Bukan perkara main-main. Yang pertama memang selalu paling berkesan.

Sambil makan sayuran dan tahu tempe asli made in Bayat plus ayam bakar dan sambal, kucoba untuk berbagi hal-hal yang aku pikir paling penting sebagai building blocks dalam membangun sukses berkarir. Pertanyaan demi pertanyaan mulai bergulir.

Ada yang bertanya, bagaimana kalau prestasi masa kuliah tidak sempurna. Pertanyaan ini membuatku kembali berpikir tentang tradisi Jepang yang namanya wabi sabi. Meminjam penjelasan entrepreneur dan motivator Beth Kempton soal wabi sabi: penerimaan dan apresiasi atas sesuatu yang tidak permanen, tidak sempurna, dan tidak komplet. Otentik dan menjadi diri kita sendiri, pengakuan atas karunia hidup yang sederhana, berkesadaran, dan natural.

Kucoba untuk berbagi sambil mengingatkan diri sendiri bahwa sesungguhnya kesempurnaan adalah standar yang paling rendah. Karena kesempurnaan tidak mungkin untuk diraih, ketidaksempurnaan adalah standar yang lebih tinggi dan hal yang begitu indah. Baca selengkapnya…

Oleh Wuddy Warsono, CFA