Sama seperti di belahan dunia lainnya, di pagi hari itu warga desa tersibukkan dengan aktivitas mereka masing-masing. Mungkin ada yang belum bangun karena agak kelelahan sehabis kegiatan dzikiran semalaman dengan para tetangga. Mungkin ada yang menghabiskan paginya dengan cara khas desa: menyapa satu-satu orang yang lewat di depan halaman rumahnya, menanyakan ke mana mereka pergi meski mungkin mereka sudah tahu jawabannya. Mungkin ada yang ingin pergi agak jauh ke daerah Kuta atau mungkin Pantai Aan, namun sudah kehabisan bensin sehingga ia butuh untuk segera mengisinya di sebuah toko milik tukang bensin botolan—sebuah barang dagang yang banyak terlihat di kanan-kiri jalanan Lombok—yang tidak jauh jaraknya dari rumah. Dan ada satu kegiatan yang pasti di pagi itu: Mia dengan kegiatannya mengurus ternak dan sawah.
Tidak jarang para warga di kampungnya yang harus meladang, tua maupun muda, ingin maupun tidak. Sebagian besar warga di Kampung Nyanggit mendapatkan penghasilan dari hasil tani mereka. Di musim panen itu, banyak bagian di bagian depan rumah-rumah mereka yang digunakan untuk menjemur hasil panen beralaskan terpal-terpal yang kebanyakan berwarna biru cobalt. Karena kurangnya ruang dan padatnya penduduk, terkadang warga harus melindas sedikit hasil tani dengan roda motor untuk melewati jalan menuju rumahnya. Hal yang lumrah terjadi, ndek kembe-kembe (tidak apa-apa).
Ada banyak pagi di mana langkah kaki Mia begitu mantap untuk menyeimbangkan tubuhnya saat menginjak kontur tanah sawah yang sudah ia sangat kenali lika-likunya. Tangan kirinya melonggarkan tali yang mengikat sapinya, si Belang. Mia dapat mengenali jenis-jenis sapi yang bagus, dianalisis dari kuku dan ekornya. Dengan detil, Mia dapat menjelaskan bagaimana perilaku sapi dan juga jenis makanannya. Pengetahuan ini ia dapatkan semenjak ia kecil saat ia membantu keluarganya untuk mengajak sapi-sapi mereka mencari makan. Sambil sedikit membelai sapinya, tangan kanannya memegang suatu benda berwarna hitam yang agak mengkilap. Bagaikan punya kawan yang tak bersuara, benda ini sangat bersejarah bagi Mia, seorang warga Rembitan. Selalu dibawa dengan semangat ke manapun ia pergi: sebuah senter kepala berwarna hitam. Mia gunakan senter itu sudah lama sekali—saat mencari pakan ternak, meladang, menjaga sapi-sapi agar tidak melahap hasil ladang orang lain, berkegiatan di dapur, memanen kunyit, merayakan tradisi Bau Nyale, atau sekedar berjalan-jalan di sawah setelah matahari terbenam. Alhasil, senter kesayangannya menjadi sebuah barang penuh cerita yang juga merupakan bagian yang cukup besar dalam hidupnya.
Masa-masa kecil Mia yang banyak dihiasi memori mengenai sapi-sapi ternak dilanjutkan dengan fase hidupnya yang lain: fase hidup pascapernikahan. Berbasiskan ‘mau-sama-mau’, ia menyelami dunia pernikahan pada saat ia berusia delapan belas tahun, suatu usia yang sangat umum bagi warga di sekitarnya untuk menikah. Di beberapa bagian di Lombok, pernikahan-pernikahan yang terjadi, bahkan di usia yang jauh lebih dini dari usia Mia, merupakan hal yang cukup umum terjadi. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya pendidikan formal maupun nonformal yang cukup bagi warga mengenai konsekuensi dan bahaya pernikahan dini. Mia menikah di usia dini dan ia tidak berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan formalnya. “Ada dua sisi di dalam diri saya, yaitu menerima kenyataan bahwa saya adalah seorang istri yang harus selalu melakukan pekerjaan rumah tangga dan satu lagi adalah sisi saya yang merindukan sekolah. Saya merindukan pendidikan.”
Namun, dalam pandangannya, ia tetap bisa ‘bersekolah’ dengan cara mengembangkan dirinya di Sentra Pembelajaran Masyarakat (CLC) yang dikelola oleh Titian Foundation di Rembitan dengan mulai belajar di Kelas Tenun dan Kelas Jahit. Di sudut-sudut CLC kita akan sering menemuinya membaca buku. Mia mewakilkan banyak dari wanita Generasi X dan Millennial yang hidup di sekitar dirinya: mencari nafkah sejak usia kecil, menikah muda, memiliki orang tua yang jauh lebih mendukung anaknya untuk bekerja daripada bersekolah, mengurus rumah tangga, dan pada akhirnya tidak selesai sekolah. Banyak remaja yang terposisikan untuk berada di ambang antara harapan untuk bersekolah dan tuntutan untuk menjadi begitu ‘realistis’ yaitu dengan mengikuti pola hidup generasi sebelumnya dan bekerja.
Menurut riset yang dikembangkan oleh Sternin dan dilanjutkan oleh Zeitlin, butuh seorang individu maupun sekelompok ‘deviasi positif’ untuk mengembangkan satu masyarakat. Dalam pandangan Teori Positive Deviance, solusi untuk isu yang terjadi di satu komunitas bisa jadi merupakan apa yang sudah dipraktekkan oleh satu kelompok atau individu yang mengaplikasikan cara yang berbeda dalam menjalani kehidupan mereka. Pihak eksternal bisa berpengaruh, namun pengaruh internal—tentunya yang positif—akan jauh lebih efektif untuk mengubah suatu sistem yang sudah berjalan beratus-ratus tahun lamanya di masyarakat. Lahirnya teori seperti ini merupakan secercah harapan bagi semua komunitas masyarakat yang ada di dunia untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Deviasi positif bukan sekedar ‘pengubahan’ saja, namun juga representasi dari sifat dunia yang selalu berkembang dari orang-orang yang memiliki cara berbeda dalam mengatasi isu-isu yang mereka harus atasi. Karakteristik deviasi positif secara general mungkin terbentuk dan dapat teraplikasikan di kelompok warga Nyanggit yang sudah berkeinginan untuk mengembangkan diri, khususnya anak-anak, remaja, dan para wanita untuk belajar.
Kisah Mia dapat menginspirasi kita untuk turut serta membantu mereka berkembang. Terkadang, di dalam kehidupan kita harus melalui jalan terjal yang terasa tak berkesudahan, namun kemajuan yang kita capai merupakan akumulasi dari kemajuan kecil yang terkadang tidak kita sadari, termasuk hasil dari deviasi positif yang pernah terjadi dalam kehidupan sosial kita, baik sengaja maupun tidak sengaja. Di Titian, kami menghargai semua pertumbuhan dalam pengembangan pribadi, sekecil apa pun itu. Tidak ada kata terlambat untuk terus belajar. Bermitra dengan Soroptimist International Jakarta, Titian terus berjalan bersama perempuan Rembitan untuk mengembangkan diri, suatu hal yang juga bisa Anda lakukan bersama kami. (SK)