Berita

Warna-warna Historis untuk Keberlanjutan Alam

“Nah, berubah warnanya, Mas!” begitulah ekpresi terkagum dari ibu-ibu ketika melihat benang yang tadinya berwana putih berubah menjadi hijau ketika dicelup kemudian menjadi warna biru ketika teroksidasi. Sejarah panjang membuktikan bahwa nenek moyang suku Sasak mempunyai keahlian yang baik dalam pewarnaan alam. Tidak hanya itu, dahulunya mereka juga menanam kapas sendiri dan melalui proses memintal, nenek moyang mendapatkan benang sendiri yang digunakan dalam kesehariannya.

Tengok daun Indigofera—tanaman yang bisa menghasilkan warna biru ini memiliki kisah yang kuat di dalamnya. Kondisi dahulu kala di mana literasi sains belum menjangkau masyarakat melahirkan beberapa mitos di dalamnya, tak terkecuali untuk tanaman Indigofera. Beratus tahun lalu, kondisi cairan celup yang bisa teroksidasi tentu menjadi sesuatu yang magis bagi mereka yang belum mengetahui bagaimana sains bekerja. Dari sanalah dulu banyak mantra yang terucapkan sehingga masyarakat menganggap bahwa mantra itulah yang merubah warna benang yang dicelup. Selain itu, keistimewaan daun Indigofera terletak pada bakteri yang hidup di dalamnya, tak heran dia dijuluki sebagai warna yang hidup, mengingat pasta Indigofera bisa digunakan beberapa kali dalam proses pencelupan dan harus tetap dirawat dengan ditambahkan air gula atau air kelapa di masa penyimpanan.

Kegiatan pencelupan sebagai aktivitas di luar ruangan secara bersama-sama ini membuat ibu-ibu penenun terus bersemangat: rumput hijau di taman CLC kami, udara segar, dan sinar matahari bersinergi untuk menciptakan keadaan psikologis yang baik untuk mereka, meski mencelup benang bukanlah proses yang singkat. Butuh kesabaran untuk menciptakan benang dengan ketebalan warna yang diinginkan. Butuh ilmu untuk mengetahui komposisi dan pencampuran warna yang tepat. Oleh karenanya, kain yang menggunakan pewarna alam akan menambahkan nilai jual, utamanya bagi pembeli yang mengerti seni dan juga kerja keras para penenun dalam melakukan pencelupan benang.

Sedikit kilas balik, para fasilitator di Titian Rembitan pun pernah mengalami tantangan mengenai hal ini layaknya ibu-ibu yang ragu dalam menggunakan benang pewarna alam karena prosesnya yang cukup memakan waktu dan energi. Namun, kini mereka sudah mampu memahami bahwa kegiatan mewarnai tidak hanya membawa keuntungan ekonomis, tetapi juga menyenangkan.

Diwarnai oleh Kolaborasi

Kembali ke alam, kurang lebih semangat inilah yang menjadi bahasan utama diskusi kami ketika berbincang bersama teman-teman Invest Islands Foundation dan Bidadariku . Sejarah membuktikan bahwa wanita-wanita penenun suku Sasak mempunyai keahlian yang baik dalam hal pewarnaan alam. Dalam sesi di tanggal 27 dan 28 Juli 2022, ibu-ibu penenun menerima ilmu dan langsung mempraktikkan pewarnaan alam. Sejarah mengenai tanaman yang bisa dijadikan pewarna, sejarah tenun, roda warna, mix and match, dan juga teknik pencelupan langsung dipresentasikan oleh Bidadariku.

Sesi ini menjadi sangat menarik karena ibu-ibu diminta menggali lagi resep-resep yang dulu dikembangkan oleh nenek moyang mereka dalam mewarnai menggunakan pewarna alam. Dalam sesi praktik, ibu-ibu diminta mencelupkan benang ke larutan Indigofera dan marigold yang menghasilkan warna biru serta kuning. Kemudian, hasil celupan daun Indigofera dicelup ke marigold menghasilkan warna hijau. Terlihat antusiasme yang begitu luar biasa ketika mereka melihat perubahan warna yang terjadi. Para peserta mencatat dengan serius setiap tahapan mewarnai yang dilakukan untuk menjadi bekal mereka dalam mewarnai di kemudian hari.

Tidak hanya tentang mewarnai, para wanita penenun belajar bersama mengenai langkah-langkah untuk merawat kain dan melakukan pengemasan kain sebelum dikirimkan ke pembeli, serta penggunaan teknologi tepat guna yaitu alat untuk beompok-ompok (beompok-ompok istilah dalam proses menggulung benang) untuk mempermudah produksi kain tenun. Aminah, salah satu peserta menuturkan bahwa ia sangat senang mendapatkan pengetahuan baru dalam hal pewarnaan alam, ibu dari 4 orang anak ini tidak sabar ingin mempraktikkan ilmu yang didapatkannya dan memproduksi kain tenun menggunakan benang pewarna alam buatannya. Terlebih lagi, selain lebih ramah lingkungan, kain tenun pewarna alam juga mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. Titian Foundation, Invest Islands Foundation beserta Bidadariku memiliki visi yang sama dalam menjaga lingkungan serta memberdayakan perempuan, salah satunya melalui kegiatan menenun. Menghadirkan produk tenun yang baik dalam segi kualitas (pewarna alam) dengan tidak melepas nilai kebudayaan masyarakat sekitar menjadi tantangan yang besar dalam era industri modern.

Jauh sebelum itu, terbentuknya kelompok ibu-ibu penenun Dusun Rebuk I Desa rembitan dimulai dengan kolaborasi program antara Soroptimist International of Jakarta (SIJ) dengan Titian Foundation. Memecahkan mistis yang beredar di masyarakat bahwa apabila mereka menenun, mereka bisa mengalami gangguan jiwa, kebutaan bahkan sampai dengan kematian. Sekarang, kami telah berhasil membuat kain tenun dengan kualitas yang baik bahkan sampai terjual ke luar negeri. Tidak puas sampai di sana, kami terus mengembangkan diri untuk meningkatkan kualitas dan nilai produk melalui kegiatan belajar bersama dengan teman-teman yang mempunyai keahlian dan konsentrasi yang sama dalam bidang tenun.

Pada akhirnya, kami tahu apa yang membuat proses ini begitu memesona: semua adegan dalam pencelupan bagaikan simbol warga Desa Rebuk dalam mewarnai diri mereka sendiri dengan ilmu-ilmu baru dan perluasan kapasitas diri di tempat kami.

Titian Foundation, SIJ, Invest Islands Foundation, dan Bidadariku bersama-sama dalam membangun women empowerment untuk ibu-ibu kelompok tenun Dusun Rebuk I, Desa Rembitan, Lombok Tengah. Tentu, Anda juga dapat turut serta berkolaborasi dengan kami untuk perihal pemberdayaan perempuan kami di Lombok. (PT/SK)