Sengatan terik matahari dari pagi hingga petang di pantai pernah mereka rasakan saat mereka berada di usia yang lebih muda. Hampir semua dari mereka pernah berjualan gelang di pantai pada masa kecilnya, dan hal tersebut berpengaruh besar, salah satunya pada kemampuan membaca mereka yang lebih lambat. Tentu, kemampuan untuk membaca ini berpengaruh pula pada jumlah rentang waktu mereka untuk menerima dan mencerna ilmu-ilmu baru. Saat memasuki bangku sekolah menengah, beberapa dari mereka sempat patah semangat dan melabeli diri dengan penilaian atas diri yang negatif—stigma—yang begitu kuat mereka sematkan. Melihat kekentalan budaya yang masih sangat kuat, kami pun sangat berhati-hati untuk mencapai premis bahwa para remaja di Rembitan memang butuh untuk keluar dari zona nyaman mereka untuk mengembangkan pengalaman dan memperluas pola pikir, karena hal tersebut dibutuhkan sebagai komponen yang fundamental untuk menjaga ketahanan dan kesejahteraan hidup mereka.
Persoalan kepercayaan diri ini semakin dipupuk oleh kurangnya dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar. Memberikan semangat dan arahan pada para remaja yang sudah menyematkan stigma pada diri mereka masing-masing tentunya bukan tugas yang mudah, namun kami melihat kesempatan besar di sini: kami berhadapan dengan jiwa-jiwa yang masih banyak mempunyai ruang untuk diisi. Pada awalnya, keberadaan CLC di Sentra Pembelajaran Masyarakat (CLC) Titian di Rembitan, Lombok, merupakan tanda tanya besar bagi mereka: tempat apa ini? Apa yang bisa kita lakukan di sini?
Bulan demi bulan berlalu, dan pada akhirnya mereka semakin mengenal Titian dan tergerak untuk bergabung dalam salah satu program kami. Pada awalnya, melalui Program Pendampingan Remaja, kami mencoba untuk membangkitkan kepercayaan diri mereka dan juga mengenal mereka lebih baik lagi. Kini, kami berada dalam tahap mencoba untuk mulai mengembangkan kemampuan berpikir dan menambah ilmu pengetahuan mereka. Mengenalkan mereka pada ilmu dan cara pandang baru merupakan sesuatu yang menantang sekaligus menyenangkan bagi para fasilitator kami. Energi yang mereka berikan kepada kami begitu menyamankan hati. Dengan menyusun materi yang sudah disederhanakan agar mudah diterima oleh mereka yang masih berada di usia remaja dan juga menggunakan gaya komunikasi yang kasual, kami mengenalkan mereka ke rumusan sederhana beberapa teori popular untuk mengembangkan pola pikir. Salah satu tujuan utama untuk program ini: membuat mereka untuk lebih memprioritaskan pendidikan dan juga pengembangan diri.
Melihat banyaknya mitos yang berkembang di masyarakat, fasilitator kami mencoba mengenalkan mereka—dengan cara yang menyenangkan dan interaktif—kepada sejarah terbentuknya mitos dan juga cara membedakan mitos dan fakta di dalam sesi Breaking the Myth (meretas mitos). Kesadaran mereka atas bahaya mitos yang tidak bermanfaat atau menghambat perkembangan diri sudah sedikitnya terbantu oleh adanya informasi yang mereka dapatkan dari peselancaran internet khususnya dari platform media sosial, namun tantangan besar mereka adalah memilah informasi yang benar-benar valid dan dibutuhkan, dan hal yang lebih menantang lagi adalah interaksi intens dengan generasi di atas mereka yang masih banyak mempercayai mitos-mitos yang berpotensi untuk menghambat perkembangan diri dan eksplorasi.
Sesi ini menjadi sesi yang seru karena sangat relevan dengan keseharian mereka. Pada akhirnya, para remaja dihadapkan dengan satu pertanyaan: Apakah mereka mau untuk mengikuti perkembangan dunia yang sudah banyak diwarnai oleh kemajuan teknologi? Melihat ke belakang, salah satu pengalaman unik nan ‘revolusioner’ Titian di Rembitan adalah menghilangkan dampak regresif dari keberadaan mitos mengenai penggunaan motif songket, di mana mitos tersebut sekarang dipercaya sebagai hanya sebatas kisah saja, dan pada akhirnya beberapa peserta Kelas Tenun di CLC kami pun mencoba motif baru, yang berarti mereka memilih maju demi menggerakkan kapasitas ekonomi mereka, dan mitos adalah mitos.
Hasil awal dari pertemuan pendampingan kami cukup bisa dilihat dari daya tangkap para remaja mengenai berbagai terminologi dan informasi baru yang mereka ingat di waktu-waktu pendampingan berikutnya, meski secara parsial saja. Kami pun mendalami Critical Thinking (berpikir kritis), fasilitator mengajak mereka untuk mulai menganalisa berbagai yang terjadi di sekeliling mereka, termasuk kasus pernikahan dini dan juga perkembangan pariwisata di Lombok. Adanya Sirkuit MotoGP yang berada di dalam Kawasan Ekonomi Kreatif Mandalika adalah ladang pembelajaran besar bagi mereka. Dalam menanggapi hal ini, mereka memiliki sudut pandang unik yang berbeda-beda. Tentu, sebagai warga asli Lombok yang tinggal sangat dekat dengan Mandalika, mereka memiliki pandangan yang khas dalam mempersepsikan tanah kelahirannya sendiri. Sesi Critical Thinking dimaksudkan untuk pengenalan atas penataan pola pikir agar lebih terstruktur: menguatkan riset dan budaya verifikasi, membangun argumen, melakukan kontemplasi dan refleksi, dan pada akhirnya mereka membandingkan berbagai referensi dengan cara-cara yang sederhana, disesuaikan dengan keadaan mereka sebagai remaja yang baru mulai bertumbuh.
Perkembangan dan antusiasme mereka terlihat kembali di sesi pendampingan lainnya saat mereka diajak untuk mengeksplor dirinya sendiri. Setelah dicontohkan untuk membuat lima kata saja yang dapat mewakilkan diri mereka sendiri, ternyata mereka bersemangat dengan menuliskan lebih dari lima kata, bahkan beberapa dari mereka menuliskan lebih dari sepuluh kata. Mereka menjelaskan diri, menggali lebih dalam mengenai karakter yang melekat pada diri mereka, dan mencari tahu bagaimana opsi dan tindaklanjut dari semua poin dalam diri mereka yang telah ada agar bisa menjadi manfaat bagi keberlangsungan hidup. Kami pun melakukan sesi selanjutnya yang menarik, yaitu Comfort Zone (zona nyaman), para remaja diajak untuk melihat dunia dari sisi yang lain: menguak sisi selain dari tempat-tempat dan berbagai situasi yang biasa mereka lihat dan alami. Namun, sebelumnya, mereka sebaiknya mengetahui alasan mengapa mereka perlu untuk keluar dari zona nyaman. Oleh karenanya, fasilitator memperkenalkan mereka dengan teori simpel mengenai zona nyaman: ketika kita akan mendobraknya, mungkin ada rasa takut di awal, namun pada akhirnya saat kita mengalahkan rasa takut tersebut, di situlah kita akan berkembang. Kami pun mempersiapkan mereka dengan mengingatkan kembali bahwa dunia tidak hanya sebatas di Lombok saja. Hal ini dilandasi oleh banyaknya warga sekitar yang enggan keluar dari wilayahnya sendiri dan diperkuat oleh alasan yang beragam.
Pada tahun 2021, Wakil Presiden Indonesia Ma’ruf Amin pernah menyampaikan bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) di Nusa Tenggara Barat (NTB) masih tertinggal dibandingkan daerah-daerah lain. Peningkatan kualitas SDM menjadi pekerjaan utama bagi Pemprov NTB. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Ma’ruf, APK-PT di NTB saat ini rata-rata baru mencapai 18 persen. Sebagai bandingan, Ma’ruf mencontohkan Singapura yang memiliki APK-PT sebesar 62,2 persen dan Korea Selatan yang mencapai 91 persen. Menurutnya, terdapat korelasi positif antara negara-negara maju yang memiliki SDM yang telah dibina melalui pendidikan tinggi dengan kemajuan penguasaan teknologi dan ekonomi di negara-negara maju. Tentu saja, untuk mencapai ke titik pembangunan seperti itu, para anggota masyarakat khususnya anak muda sangat membutuhkan penyadaran atas pentingnya pencapaian pendidikan terlebih dahulu bagi kehidupan mereka. Jika mereka tidak sadar dan tidak merasa membutuhkannya, tentu akan sulit untuk bergerak ke depan.
Di Rembitan, terlandaskan faktor ekonomi, banyak anak dan juga remaja yang dituntut untuk mencari nafkah untuk keluarganya sehingga jalan mereka menuju pendidikan yang merupakan hak mereka menjadi terhambat. Kami berharap penuh interaksi dan pendampingan yang dijalankan di Titian Rembitan untuk para remaja sedikit banyaknya dapat membantu—pola pikir mereka menjadi terbantu untuk lebih bisa terstruktur, mengarah ke arah perkembangan kualitas dan kemampuan diri. Utamanya tetap berada di trek pendidikan. Bagaikan menyaksikan sebuah epiphany (pencerahan), kami, para fasilitator Titian tersenyum lebar ketika para anak remaja ini mulai bertanya, “Saya sudah membaca buku ini. Saya juga berdiskusi dengan orang lain mengenai hal yang tertulis di buku ini. Tapi pendapat mereka, kok, berbeda? Saya jadi terus memikirkan yang mana yang sekiranya tepat.” (SK)
Referensi: CNN Indonesia. 2021. Ma’ruf Amin: Kualitas SDM di NTB Masih Tertinggal.