Berita

Putri Mandalika dan Konsensualitas

Nyaris semua tempat di belahan dunia memiliki kisah legenda rakyat. Biasanya kisah-kisah ini terbentuk atas kenaifan rakyat untuk menjelaskan beberapa fenomena alam maupun sosial. Kisah-kisah ini pun seringnya cukup kental dalam menggambarkan kondisi pola pikir masyarakat saat kisah tersebut dibuat dan pada akhirnya diceritakan dari mulut ke mulut, generasi ke generasi. Kisah klasik mengenai Putri Mandalika yang umum diketahui di kalangan masyarakat Lombok sangat menarik untuk ditelaah.

Pantai Mandalika berada di Kuta, Lombok. Selain pemandangan lautan dengan ombak yang santai dan pasir yang cukup putih, pemandangan para ibu dan anak-anak berjualan di pinggir pantai merupakan pemandangan yang umum terlihat jika kita berkunjung ke sana. Kita bisa jadi merasakan berada di ‘surga’ sebelum kita menghayati bahwa anak-anak yang berjualan seharusnya berada di sekolah atau setidaknya bermain selayaknya anak-anak pada umumnya. Bagi mereka yang tinggal di perkotaan, melihat anak-anak berjualan mungkin merupakan sesuatu yang sangat janggal dan memprihatinkan. Surga yang mungkin memiliki banyak isu serius. Terdapat banyak anak yang berjualan di sana yang hanya mendapatkan sepersekian dari jumlah yang mereka dapatkan—nyaris semuanya diberikan untuk keluarga mereka.

Kisah tentang Mandalika singkat, tidak berbelit-belit, namun menarik sekali untuk dibahas. Pastinya kisah ini tidak presisi karena tersampaikan dari mulut ke mulut sehingga bisa saja terdistorsi. Putri Mandalika adalah sosok mitos yang digambarkan sebagai seorang wanita yang sangat cantik dan baik—hal tersebut membuat banyak sekali pria mengincarnya. Pada suatu saat, Putri Mandalika memberikan pengumuman bahwa ia tidak ingin para pria yang merebutkannya melakukan peperangan yang diakibatkan oleh dirinya. Setelah memberikan pengumuman tersebut, konon Putri Mandalika menenggelamkan dirinya ke dalam dasar lautan dan berubah menjadi cacing berwarna-warni. Dalam musim-musim tertentu, masyarakat Lombok hingga kini ‘merayakan’ kisah legenda tersebut dalam tradisi yang dinamakan ‘Bau Nyale’, ketika cacing yang berwarna-warni datang dan bisa ditemukan di pinggir laut. Tentu, kini datangnya cacing tersebut bisa terjawab secara saintifik.

Jalan Terjal Menuju Pendidikan Mengenai Konsensualitas di Lombok

Konsensualitas, kondisi di mana satu pihak atau individu memberikan ijin kepada pihak atau individu lainnya untuk melakukan sesuatu. Sebuah kesepakatan yang didasari oleh kesadaran dan tanpa paksaan. Keputusan Putri Mandalika untuk menenggelamkan dirinya seakan menjadi pertanda bahwa di jaman dahulu mungkin masyarakat memiliki perilaku permisif dengan adanya para pria yang begitu memaksakan diri untuk ‘mendapatkan’ seorang wanita yang diidamkan oleh mereka, hingga Sang Putri mengalami frustrasi yang begitu hebat. Kini, kita menghirup udara di jaman yang selayaknya bisa memahami bahwa paksaan tidak boleh dilakukan oleh siapapun, apalagi hingga melakukan perang demi mendapatkan satu wanita. Untuk mendapatkan pendidikan mengenai konsensualitas, masyarakat Lombok di beberapa bagian wilayah perlu dibekali dengan literasi yang paling dasar terlebih dahulu. Bagaimana bisa mereka memahami konsensualitas dalam keadaan yang buta huruf dan buta literasi?

Permasalahan hubungan hetero-romantik di Lombok juga masih mencuat. Karena keadaan literasi yang rendah, otomatis pengetahuan rakyat Lombok mengenai hubungan interpersonal di beberapa wilayah masih sangat minim. Akibat adanya benturan dengan tradisi dan agama, para anak muda bisa memiliki alasan kuat untuk segera menikah, dan pada akhirnya mereka kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan mereka. Di Lombok, masalah tak selesai sampai di situ saja. Perilaku dan orientasi edukasi dari para tenaga didik harus diperkuat lagi, mengingat masih banyak sekolah yang memiliki permasalahan yang mungkin kurang lebih serupa dengan di belahan Indonesia lainnya: guru yang menjadi guru tanpa memahami apa yang mereka lakukan—guru yang belum begitu memahami betapa pentingnya pendidikan dalam mengubah masa depan anak-anak didik dan juga tanah kelahiran mereka. Isu yang terjadi Lombok begitu kompleks dan hal ini membuat seolah-olah penyampaian pendidikan tentang konsensualitas rasanya harus menuju jalan terjal yang berliku terlebih dahulu. Basis literasinya harus dibenahi dan betul-betul diperhatikan, mengingat pola pikir bisa terbentuk dengan adanya literasi.

Perempuan Lombok Bukan Putri Mandalika yang Tenggelam

Pemberdayaan perempuan sudah menjadi suatu urgensi di Lombok dan generasi baru di Lombok sebaiknya memahami betapa pentingnya konsensualitas dan literasi gender. Permasalahan yang ada begitu berjilid, termasuk patriarki yang kental dan juga perbedaan ‘kelas’. Poin seperti ini bisa jadi mengindikasikan bahwa masih ada segregasi gender dan klasisme yang berpengaruh sedikit banyak pada pola pikir sistemik masyarakat.

Kita memiliki dua opsi: berkabung karena kondisi yang memprihatinkan atau semangat karena kita masih hidup dan bisa melakukan sesuatu untuk turut serta mengembangkan masyarakat agar menjadi lebih baik. Adanya Sentra Pembelajaran Masyarakat yang dibangun oleh Titian Foundation di Rembitan, yang menyediakan begitu banyak buku, menjadi penyelamat bagi keingintahuan anak-anak mereka akan dunia. Kini, mereka yang terbiasa mendengar sebatas cerita rakyat bisa memperluas wawasannya hingga mengenal nama-nama seperti Roald Dahl atau Andrea Hirata. Apalagi, faktanya, mereka jarang sekali keluar dari desanya sendiri. Bagi sebagian orang yang hidup di kota besar dengan daya beli yang tinggi, membaca buku-buku yang bagus bagaikan sesimpel meminum air. Mudah dan terjangkau. Namun, bagi kebanyakan warga di sekitar Rembitan, perluasan wawasan yang digerakkan dengan adanya berbagai buku dan Kelas Gemar Baca seperti yang Titian Foundation fasilitasi jelas membuka kesempatan bagi anak-anak mereka, generasi baru, untuk memahami secara serius bahwa hal-hal yang bisa dilakukan di dunia ini tidak terbatas dalam lingkup meladang, menikah muda, dan berjualan di pantai saja. Dalam beberapa tahun ke depan, anak-anak ini bisa menjadi kunci dari pengembangan masyarakat dan kondisi perempuan mereka bisa jauh lebih baik.

Pada akhirnya, cara terbaik untuk mengembangkan pola pikir yang sudah mengakar di masyarakat adalah dengan berkomunikasi dengan para anak mudanya, dan jika pendidikan dan literasi ditingkatkan dan betul-betul diprioritaskan, perempuan Lombok akan menjadi Mandalika yang tidak ‘tenggelam’. Ia memiliki literasi gender yang cukup, mengetahui hak-hak atas dirinya, mempunyai suara yang didengar, memiliki kekuatan yang setara dengan para Lalu dan non-Lalu sambil tetap menghormati keberadaan budaya lokal, dan juga menjadi penggerak bagi tanahnya sendiri—ia akan mengatakan ‘tidak’ dengan tegas jika ia tidak menginginkannya karena ia memahami sesuatu: sebagai manusia, ia memiliki kebebasan dalam memilih. (SK)