Berita

Mereka Berhak Memiliki Mimpi

Kebanyakan dari mereka menikah karena tidak memiliki opsi lain. Tidak pernah ada referensi atas karir, cita-cita, dan target hidup selain apa yang sudah mereka pelajari di lingkungan mereka sendiri. Melalui kaca mata mereka, menikah di usia yang sangat belia adalah sesuatu yang biasa dan lumrah. Pernikahan dini merupakan suatu isu yang sudah menjadi tugas pemerintah untuk mengentaskannya. Di Lombok, begitu banyak benturan adat yang dialami ketika kita menelaah lebih lanjut mengenai pernikahan dini, dan hal ini membuat rantai permasalahan terus berlanjut: masalah perekonomian merebak ketika banyak sekali mereka yang menikah saat mudia belia dan pada akhirnya satu kepala keluarga harus menanggung biaya pasangan baru di dalam rumahnya, apalagi kalau pasangan tersebut memiliki anak. Kasus yang terjadi di Lombok ini belum begitu banyak terekspos oleh media.

Perkawinan anak jelas sangat menghambat pencapaian IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dan SDGs (Sustainable Development Goals). SDG target 5.3 menargetkan masyarakat global untuk mengeliminasi semua praktek yang merugikan, salah satunya pernikahan anak. Menurut Kemenkes, sebanyak lima puluh tiga persen anak yang menikah di bawah usia 18 tahun menderita depresi. Isu gender pun meningkat dari adanya kasus perkawinan anak—hal ini terus menerus ‘didukung’ dengan adanya budaya patriarki yang kental, kebijakan bias gender, dan adanya pola pikir bahwa anak perempuan merupakan ‘properti keluarga’—mereka tidak memiliki hak untuk bernegosiasi. Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Rohika Kurniadi Sari (Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak) melalui sosialisasi daring Bappenas pada tanggal 30 Oktober 2021, pemerintah Indonesia dalam RPJMN 2020-2024 sudah menargetkan penurunan kasus pernikahan anak. Pada tahun 2020, pemerintah memproyeksikan pernikahan anak terjadi sekitar 10,19%, sementara target penurunan sebanyak 8,74% di tahun 2024 dan pada saat SDGs berakhir, angka diharapkan turun menjadi sebanyak 6,94%.

Bicara mengenai UU No. 1974 mengenai Perkawinan—terdapat bagian ‘…membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia…’ dan hal ini tentunya bertentangan dengan mayoritas fakta bahwa perkawinan anak tidak menghasilkan ‘kebahagiaan’ untuk para pelakunya. Anak-anak yang belum siap dan belum matang pastinya belum mampu untuk mendefinisikan maupun mengimplementasikan hal-hal yang bisa membuat diri mereka ‘bahagia’ di dalam pernikahan yang mereka lakukan. Untuk menghentikan problematika ini tentu saja rantainya harus diputuskan. Jika tidak? Keturunan mereka mengulang kisah yang sama. Keadaan mereka bisa sama atau bahkan lebih buruk.

Menurut Komnas Perempuan melalui sesi daring yang diselenggarakan oleh Soroptimist International of Jakarta, pencegahan pernikahan anak termasuk dalam salah satu dari 5 Arahan Presiden kepada Menteri PPPA. Tak heran jika salah satu solusi untuk mencegah pernikahan dini adalah penyebaran pendidikan. Pemerintah pun udah berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan ini sebagai bagian dari pencapaian SDGs yang ditargetkan selesai di tahun 2030. Efek dari pernikahan anak sangatlah besar. Konsekuensi atas tidak tercapainya pendidikan yang cukup, keadaan ekonomi yang terpuruk, kekerasan dalam rumah tangga, kematian ibu saat melahirkan, kematian bayi dan juga stunting merupakan hal-hal yang digarisbawahi dan sudah seharusnya diperhatikan.

Di Rembitan, Lombok, lokasi di mana CLC Titian Foundation berada, masih banyak kasus pernikahan anak yang terjadi. Dengan alasan yang kurang lebih hampir sama, warga melakukannya tanpa mengetahui dampak jangka panjang yang bisa terjadi di masa depan bagi mereka. Bahkan, perceraian di usia yang begitu muda bukan sebuah hal yang asing. Selain berbagai konsekuensi yang sudah tersebutkan di atas, masalah kesehatan mental pun pastinya ikut mencuat. Seorang anak yang belum selesai belajar dan bermain tiba-tiba harus menghadapi fakta bahwa ia ‘harus’ menjadi seorang istri yang diharapkan untuk melaksanakan stereotip ‘tugas seorang istri’: mengandung, membesarkan anak, menyiapkan segala kelengkapan yang harus tersedia di dalam sebuah rumah. Faktanya, sebagian besar dari mereka yang melakukan pernikahan di usia begitu dini adalah mereka yang pada akhirnya menjadi beban bagi salah satu orang tua mereka: menempati rumah orang tua mereka dan tetap menjadi beban finansial. Bukan sebuah jalan keluar dari apapun.

Sebenarnya, keadaan sudah ‘membaik’ di akhir tahun 2019. Dengan adanya pertimbangan kebijakan dari pemerintah, angka pernikahan secara legal di Indonesia naik dari 16 tahun ke 19 tahun. Peraturan ini memang akan menyulitkan mereka untuk melakukan pernikahan yang tercatat secara legal, namun tantangan tidak selesai sampai di situ saja. Masih ada celah lain untuk mereka untuk melakukannya: menikah secara agama atau menikah ‘di bawah tangan’, tak tercatat secara sipil. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan akar rumput dan LSM masih sangat dibutuhkan untuk mendorong perluasan pola pikir masyarakat. Jika peraturan tidak bisa mengontrol, maka berbagai pendekatan dan penjangkauan yang berhubungan dengan pendidikan merupakan ‘soft power’ yang harus dipertajam untuk pengentasan masalah ini. Merangkul dan mengarahkan warga untuk paham secara menyeluruh terlebih dahulu atas problem yang terjadi akan lebih berdampak secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang.

Meningkatkan level kesadaran masyarakat tentunya bukanlah hal yang bisa dijalankan hanya dalam kurun waktu sebentar saja, namun jelas suatu inisiatif pergerakan harus segera dimulai. Sesuai dengan misi utamanya, adanya Titian di Rembitan adalah suatu usaha untuk menggerakkan warga di perihal pendidikan. Melalui berbagai dialog antara staf dengan warga dan juga sesi literasi yang dilangsungkan di Titian, sedikit demi sedikit warga dapat terdidik dan tergerak untuk mencari tahu mengenai konsekuensi dan bahaya pernikahan dini jika tetap diimplementasikan di kehidupan mereka, terutama untuk kehidupan generasi di bawah mereka. Keluarga merupakan unit masyarakat yang paling kecil, oleh karena itu semua komponen dalam satu keluarga harus diberdayakan melalui pendidikan dan penyediaan informasi yang cukup.

Tak harus melulu berfokus memberikan didikan mengenai pencegahan pernikahan dini itu sendiri, namun melalui berbagai kegiatan di Titian, mereka dapat mendapatkan informasi mengenai mimpi-mimpi yang mereka bisa raih dan hak-hak yang sebenarnya mereka miliki. Berbagai opsi atas pilihan hidup itu ada. Alternatif cara hidup yang lain itu ada. Keluar dari Rembitan untuk eksplorasi itu memungkinkan. Dengan adanya bantuan berbentuk edukasi, maka kemampuan kognitif dan kekritisan warga dalam berpikir pun akan terlatih. Meski pada akhirnya pilihan atas bagaimana manusia menjalankan kehidupannya merupakan pilihan personal, kita tahu bahwa mereka mempunyai hak penuh atas pengetahuan dan mereka mempunyai hak penuh untuk maju.

Rembitan, 1 November 2021
Ditulis oleh S. K.