Malam itu, warga sekitar Teluk Kombal masih terlihat menjalankan aktivitas. Sekitar pukul 8 WITA setelah warga melakukan ibadah salat Isya, Hilmi, seorang warga Teluk Kombal, baru saja selesai makan malam bersama istrinya di teras rumah mereka. Tiba-tiba terasa guncangan yang tentunya membuat Hilmi dan istrinya waspada. “Kemungkinan ada gempa besar di Sembalun,” ujar tetangganya. Saat Hilmi menemui temannya untuk mencari informasi, terjadi getaran luar biasa—getaran besar yang mengeluarkan suara mengerikan. Lokasi tempat Hilmi tinggal langsung gelap, mati listrik total. Bagaikan mimpi buruk, ia melihat bahwa semua bangunan sudah rata dan bahkan debu menutupi bintang-bintang yang biasanya terlihat di langit. Tanah yang semula terlihat kokoh dan landai membuka retakan yang sangat lebar hingga kaki-kaki warga bisa masuk ke dalamnya.
Di saat yang sama Hilmi langsung mengingat anak tercintanya yang sedang bersama dengan pamannya. Ia begitu lega ketika mengetahui bahwa Tuhan masih melindungi anaknya yang masih berusia tiga tahun itu—anaknya ditemukan di bawah reruntuhan—terselamatkan karena si anak sempat dilemparkan dengan menggunakan tangan kiri pamannya yang terkena reruntuhan. Nyaris semua bangunan rata, banyak warga yang terkena pecahan kaca yang terlepas dari kusen jendela rumah-rumah hancur. Karena adanya retakan tanah, air di bawah tanah naik dan menyembur ke atas layaknya air mancur. Semua warga yang tinggal di sekitar pesisir pantai berlarian ke puncak bukit dan mereka yang tetap di dataran bisa berlari kencang hingga sejauh 500 meter. Tidak sampai situ saja, gempa susulan berulang kali terjadi. Hilmi sempat merasa begitu shock sempat merasa kosong, namun instingnya langsung berjalan kembali dalam hitungan detik. Ia menghindari bangunan dan mencoba untuk menenangkan istrinya, dan pada akhirnya ia beserta keluarganya lari ke pengungsian di bukit.
Sebagai warga yang aktif di organisasi masyarakat, Hilmi pun mengajak para pemuda di kampungnya untuk membantu. Hilmi sempat merasa teramat khawatir karena ia belum menemukan ibunya. Pada saat sampai di pengungsian, beberapa sepeda motor terpaksa dinyalakan mesinnya supaya mereka bisa mendapatkan sorotan cahaya. Tidak ada yang sanggup memejamkan mata dalam waktu lama, tidak ada yang bisa tidur hingga subuh menjelang karena mereka takut akan terjadi gempa lagi. Saat Hilmi merasa cukup sanggup untuk berjalan, ia turun untuk mencari ibunya, dan ia menemukan ibunya yang sedang berjalan kaki di jalan raya.
Ikut membawa ibunya ke pengungsian, Hilmi menyempatkan diri untuk membawa kasur dari kampungnya yang berjarak 500 meter. Para pengungsi lain termasuk dirinya belum bisa makan. Kemudian, mereka semampunya mengambil stok makanan yang terselamatkan dari rumah masing-masing dengan cara membentuk tim untuk masuk kampung. Bagaimana cara mereka membersihkan diri? Sumur air di pengungsian hanya satu dan itupun berjarak 300-400 meter dari pengungsian.
Hari berikutnya dilalui dengan sendu karena mereka harus melakukan pemakaman dan setelah itu mereka berkumpul dengan Kepala Dusun untuk berkoordinasi. Hilmi ditunjuk menjadi wakil ketua pengungsian. Ternyata, terdapat 1.000 jiwa di pengungsian tempat Hilmi tinggal untuk sementara. Petani pengungsi yang sempat menjemur beras dan jagung di rumahnya masing-masing ditanyai posisi terpalnya di mana agar bisa diambil oleh tim. Tak hanya itu, bambu yang dimiliki warga pun diminta untuk disumbangkan agar mereka dapat membangun tenda-tenda pengungsian. Ketika diminta untuk membantu, para remaja di pengungsian harus siap siaga. Sekitar tiga hari setelah kejadian, orang dari luar mulai berdatangan, terdapat tim dari pihak relawan maupun televisi.
Lima hari berlalu dan sebagian besar dari mereka belum bisa mandi. Solusi berikutnya: mengangkut air sungai dekat kampung mereka dengan menggunakan mesin penyedot air yang dimiliki para petani. Air tersebut dimasukkan ke dalam tong-tong besar, kemudian mereka meminjam mobil bak dari salah satu hotel terdekat. Di pengungsian, mereka mendistribusikan air dengan cara memindahkan air ke banyak galon—setetes air terasa sangat berarti bagi mereka.
Sekitar dua hari setelahnya, hari kemudian, Hilmi bertemu dengan Ibu Lily Kasoem, CEO dan Founder Titian Foundation bersama dengan putri beliau, Ibu Santi. Pada awalnya, Ibu Lily menanyakan keberadaan pengungsian terdekat ke salah satu sekolah di Pemenang, yaitu SMP 1 Pemenang. Informan menyarankan Ibu Lily untuk mengunjungi pengungsian yang terletak di dekat kampung Hilmi. Saat bertemu dengan Hilmi, Ibu Lily menanyakan apa yang bisa mereka bantu, kemudian Ibu Lily mengoneksikan Hilmi dengan yang organisasi yang bergerak di perihal disaster relief, ACT. Di pertemuan selanjutnya, pembicaraan mereka lebih serius lagi. Ibu Lily menanyakan kembali apa yang bisa dibantu oleh Titian. Hilmi langsung menyampaikan bahwa sudah lama sekali anak-anak belum bisa kembali bersekolah. Akhirnya, dibuatlah sebuah sekolah darurat di pengungsian yang juga melangsungkan aktivitas trauma healing di dalamnya. Mereka pun mendapatkan tenda dari Soroptimist International of Jakarta.
Titian pun memberikan bantuan berupa alat-alat masak karena para pengungsi mendapatkan kesulitan saat mereka harus memasak dalam jumlah yang besar, bahkan di kampung lainnya sampai terjadi bentrokan karena mereka harus berebutan makanan. Setelah satu bulan setengah, pengungsian ditutup karena daerah tersebut menjadi kumuh dan para pengungsi mulai terserang penyakit. Mereka berpindah kembali ke kampung mereka dan membangun tenda sementara di sekitarnya karena rumah mereka yang telah rusak dan hancur harus diruntuhkan secara menyeluruh agar aman kalau ada gempa susulan. Sisa-sisa bangunan dibangun untuk huntara (hunian sementara). Sebagian besar warga bertahan di hutara selama satu setengah tahun lamanya. Dampak bencana beserta penanggulangannya terhadap mentalitas para korban masih ada hingga kini. Permasalahan tetap ada, sebagian warga masih memiliki mentalitas untuk menggantungkan diri pada bantuan orang lain. Melihat situasi seperti ini, Hilmi berpendapat bahwa pendidikan di Lombok semakin butuh untuk ‘dikencangkan’.
Foto kanan: Hilmi (kiri) di tempat pengungsian.
Kejadian Gempa Lombok 2018 yang bahkan menjadi perhatian dunia memberikan pelajaran besar bagi seluruh warga Lombok. Bagi Hilmi, kejadian ini tidak akan terlupakan dan ia semakin mencintai Lombok. Kini, ia ingin menyalurkan rasa cintanya untuk Lombok dengan cara memprioritaskan kemajuan pendidikan anak muda di Lombok. Mimpinya untuk melanjutkan pendidikannya terwujud sekarang, tak ada kata terlambat dalam memperoleh pendidikan—dunia perkuliahan baru saja diselaminya. Dengan terus bekerja sama dengan Titian, ia berharap mimpinya untuk berkontribusi dalam memajukan tempat kelahirannya dapat terwujud dengan baik. Lombok harus bangkit.
Kami bisa membantu Anda untuk ikut berkontribusi dalam perkembangan masyarakat Rembitan, Lombok. Klik halaman ini.