Kita adalah rata-rata dari lima orang yang sering bersama kita. Kutipan dari motivational speaker Jim Rohn ini selalu saya coba untuk ingat-ingat. Karena memang masuk akal. Salah satu dari orang yang sering saya ganggu untuk diajak ngobrol adalah sahabat saya, Ibu Lily Kasoem.
Ibu Lily Kasoem adalah pendiri perusahaan optik terkenal Lily Kasoem. Setelah pensiun dari dunia bisnis, beliau mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk Yayasan Titian. Ini adalah sebuah yayasan yang beliau dirikan untuk memberi akses pendidikan kepada anak-anak SMU yang berasal dari keluarga prasejahtera.
Akses pendidikan ini diberikan melalui program beasiswa dan jalan masuk ke Community Learning Centre yang ada di beberapa kantong kemiskinan di Indonesia. Semua ini bisa terwujud berkat kemurahan hati para donor Titian dari dalam maupun luar Indonesia. (website: titianfoundation.org)
Salah satu pelajaran berharga dari Ibu Lily, yang sarat pengalaman melawan kemiskinan, adalah sudut pandang yang unik memandang kemiskinan. Bagi Ibu Lily, kemiskinan adalah pilihan. Default-nya adalah tidak miskin, bahkan kaya. Hah … maksudnya?
Interpretasi saya begini. Orang seperti Ibu Lily ini tidak mau berfokus pada reaksi atas masalah yang ada. Fokus beliau adalah pencegahan masalah. Di desa pra sejahtera, masalah yang mau diselesaikan adalah memutus lingkaran kemiskinan. Cara reaktif seperti pembagian sembako pada waktu panen gagal, walaupun sangat mulia, bukanlah solusi jangka panjang. Memberi ikan, bukan kail.
Cara yang lebih preventif dan berkelanjutan adalah dengan merubah mindset anak-anak di desa pra sejahtera tersebut. Caranya dengan memberikan coaching dan mentoring, selain beasiswa untuk melanjutkan sekolah. Menekankan ke mereka betapa pentingnya pendidikan, karier, dan betapa realistisnya mobilitas sosial. Dan bahwa menjadi miskin, adalah satu pilihan. Bukan default setting, bukan layak dan sepantasnya. Hanya dengan perubahan mindset inilah, lingkaran kemiskinan dapat diakhiri. Memberi kail, bukan ikan.
“Let’s live with the mindset of abundance and love. God has blessed everyone with intelligence. It is just that not everyone is aware of this gift and thus not able to benefit from it. Therefore, education helps.”
– Lily Kasoem
Mengutip psikolog Eldar Shafir dan Sendhil Mullainathan dalam buku mereka Scarcity, bahwa di saat orang menghadapi banyak masalah sekaligus, maka orang akan menyerah untuk mencoba menyelesaikan semua masalah. Yang akan dilakukan adalah mengadopsi tunnel vision, artinya tidak ada visi jangka panjang. Tidak ada juga strategi prioritas.
Metode tunneling, adalah mengatasi masalah di depan mata, jangka pendek. Reaktif atas problem-problem yang mendesak untuk diselesaikan.
Masalahnya bukan masalah besar fundamental yang dominan untuk dicarikan solusi, melainkan sebaliknya. Masalah-masalah kecil remeh nan receh ini akhirnya meminggirkan fokus pada masalah fundamental besar. Solusi yang dihasilkan menjadi sub-optimum. Karena itu, akhirnya hanya ada kumpulan solusi kecil untuk masalah kecil.
Demikian juga dengan kemiskinan. Seringkali kita mendengar bahwa kumpulan keputusan-keputusan buruk lah bikin hidup kita menjadi susah. Mungkin logika ini ada benarnya.
Tapi Shafir dan Mullainathan punya argumen yang berkebalikan 180 derajat. Bahwa kemiskinan lah yang menyebabkan keputusan yang terlalu berorientasi jangka pendek.
Scarcity. Kelangkaan. Mendorong kita untuk kurang berpikir strategis, kurang berpikir jangka panjang ke depan. Meminjam istilah Dan Heath di bukunya Upstream, situasi kemiskinan mengurangi daya kognitif secara dahsyat. Bersentuhan dengan kemiskinan mengurangi bandwidth seseorang.
Di kala sumber daya kita terbatas, SEMUA masalah, sekecil apapun menjadi sumber stres. Uang sebagai buffer rajin absen. Hidup dari stres 1, ke stres 2, dst. Seperti berjalan di atas lapisan es yang tipis di danau yang sedang membeku. Salah sedikit….
Kalau kita hidup dalam tunneling, dengan prioritas hanya pada masalah di depan mata, kita tidak akan mampu berpikir sistematis. Hanya mampu bereaksi ke problem-problem yang urgent Sampai lupa sama masalah yang sangat besar tapi tidak masuk wilayah urgent. Masalah keluar dari kemiskinan misalnya.
Sayangnya, kita toh tidak akan pernah kehabisan hal-hal yang mendesak untuk segera dikerjakan. Hal-hal dengan label “urgent”. Lagian menyelesaikan masalah yang mendesak itu begitu gagah dan keren. Heroik dan bikin kecanduan. Siapa sih yang nggak pengen jadi pahlawan?
Bagaimana cara keluar dari tunnel? Mungkin dengan slow down sebentar. Nanti akan kelihatan bahwa banyak hal yang kelihatan urgent itu tidak mendesak seperti yang dibayangkan. Tidak semua api adalah kebakaran. Tidak semua air adalah banjir.
Kita semua perlu tempat yang aman untuk berpikir jangka panjang dan strategis. Tempat yang membebaskan kita. Tempat inilah yang coba disediakan oleh Titian Foundation lewat beberapa Titian Centre. Tempat anak-anak usia sekolah tidak diburu untuk membantu orang tuanya jualan es atau mencuci baju. Tapi untuk berpikir soal masa depan mereka. Tempat menuai harapan dan keceriaan.
Kita sering dengar cerita soal katak yang tidak meloncat keluar walau air di panci sedang dipanaskan. Kita tertawa tanpa sadar bahwa seringkali kita adalah katak itu. Sampai terlambat. Mungkin kita perlu pasang deadline. Dan alarm. Supaya tidak menjadi seperti katak di panci yang dipanaskan tadi, deadline memberi kita batas waktu kapan harus meloncat keluar dari panci. Juga ritual yang mengarah ke perubahan strategis dan fundamental. Karena kita adalah ritual kita.
Contohnya, kita ingin mulai berinvestasi saham. Yang bisa kita lakukan adalah mulai bertukar pikiran secara reguler dengan orang-orang dengan mindset yang sama (ritual), dimulai paling lambat minggu depan (deadline).
Juga untuk keluar dari tunneling, saya sering memakai kata-kata sederhana yang dapat merubah mindset. Kata-kata yang memungkinkan kita untuk memvisualkan mindset baru.
Misalnya daripada berpikir bahwa ”saya miskin” dan perlu bantuan, kita bisa memakai default Ibu Lily Kasoem “saya kaya”. Kalau uangnya belum ada, paling tidak kita belajar cara berinvestasi dan terus tumbuh dan belajar dalam pekerjaan atau studi atau usaha kita. Bukan berkeluh kesah tiap hari soal susahnya hidup ala “saya miskin”. Kalau kita siap, semesta akan mendukung. Tuhan akan memberi.
Mindset “saya kaya” adalah mindset yang berfokus pada memberi. Kalau kita belum bisa memberi harta, paling tidak kita bisa menyumbangkan waktu untuk sesama yang membutuhkan. Hanya dengan memberi kita bisa bertumbuh. Seperti air kolam yang terus diganti. Dan hanya dengan terus bertumbuh, kita dapat terus memberi tanpa kehabisan sumber daya kita.
Kaya itu bukan hanya soal uang, tapi juga soal mental. Hanya orang dengan mindset kaya bisa terus memberi sambil terus bertumbuh.
Saya kaya. Itu default berpikir saya. Bull market maupun bear market. Ikutan yuk…
Ditulis oleh Wuddy Warsono, CFA.
Bajuku beda sama kamu,
Sepatuku juga tidak sama,
Rumahku apalagi.
Bukan suatu kebetulan,
Kalau aku punya cita-cita,
Seperti juga kamu.
Aku ingin bisa terus sekolah,
Aku mau lulus jadi sarjana,
Aku mau kejar impian.
Kata orang ubah dulu mindset-mu
Kata orang punyalah mindset positif,
Kata aku, betul juga.
Di satu waktu aku jadi tahu,
Di satu tempat aku pasti bisa,
Cara berpikir serta asa mencapai cita.
Sejuta citaku bukan mimpi,
Asal terus usaha diri,
Buat Negeri tercinta bangga.
(Asmara Devi, Jakarta, 23.08.20)