Di luar begitu lembab dan terik. Klaten adalah kota terpanas yang pernah saya kunjungi di Indonesia—walaupun mungkin hal ini disebabkan oleh perubahan iklim—2019 adalah tahun terpanas kedua sepanjang sejarah menurut para ilmuwan NASA dan NOAA. Sambil membawa buku, saya menginjakkan kaki ke rumput hijau tanpa alas kaki; rumput hijau tersebut menutupi sebagian besar taman Titian Bayat yang indah. Ada sekitar dua puluh remaja yang menunggu kehadiran saya, semuanya tampak tertarik, karena tentu saja, saya adalah orang asing yang cukup mencolok bagi mereka. Mereka semua telah duduk di lapangan rumput, terlihat bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya. Nurul Liza, koordinator di Community Learning Center Titian Bayat, melakukan pembukaan yang hangat, kemudian dia mempersilakan saya untuk memimpin diskusi. “Halo,” saya berkata. Saya terus menatap mereka dan tersenyum lebar. Setelah menjelaskan sedikit mengenai diri saya, saya bertanya, “Siapa kalian?” Tepat setelah itu, mereka memperkenalkan diri dengan memberi tahu saya nama, rumah, dan nama sekolah menengah mereka.
Terdapat tiga anak laki-laki dan sisanya perempuan, dengan perkiraan usia sekitar enam belas tahun. Tidak semuanya penerima beasiswa Titian, ada juga beberapa remaja lainnya yang tinggal di sekitar Titian Bayat tersebut. Pada hari itu, saya bersemangat untuk memberikan mereka wawasan tentang literasi sosioemosional berdasarkan buku bestseller karya Guy Winch, ‘Emotional First Aid’. Beberapa hari sebelumnya, saya mencoba merangkum dan memahami dua bab pertama buku ini: Penolakan dan Kesepian — setelah menyadari bahwa kedua bab tersebut begitu berhubungan dengan anak muda. Para remaja di sesi diskusi sangat bersemangat untuk mengajukan pertanyaan mengenai cara alternatif bagaimana mereka menghadapi kehidupan, terutama hal-hal yang berkaitan dengan penolakan dan kesepian. Lalu, saya sampaikan pendapat dan interpretasi saya tentang buku itu kepada mereka.
Kegirangan saya terpancing begitu mereka mengajukan begitu banyak pertanyaan tak terduga dan begitu terperinci seperti, ‘Bagaimana cara kita mencegah prasangka?’ atau ‘Mungkinkah di usia saya untuk membantu teman menyelesaikan masalah pribadi mereka di rumah?’. Saya benar-benar terpesona oleh pertanyaan mereka. Saya menunda menjawab salah satu pertanyaan mereka, karena saya belum melakukan riset mendalam mengenai subyek yang berkaitan; dan staf Titian, Nisa’u, terkesan karenanya. Nisa’u adalah salah satu alumni Program Beasiswa Titian yang telah menjadi salah satu staf Titian. Kini, ia berfokus pada manajemen alumni Titian. Perasaan itu sama: saya kagum pada reaksi Nisa’u juga, karena dia menunjukkan sikap yang baik dengan secara terang-terangan mengatakan bahwa dia belajar sesuatu dari saya, dan tentu saja, saya pun belajar darinya dan semua remaja di sana. Sejak itu, saya jadi tahu bahwa sebagian besar Titianer (‘Titianer’ adalah sebutan bagi penerima beasiswa Titian) menghargai hal-hal kecil dan juga belajar dari hal-hal kecil dari semua orang yang mereka temui (saya juga menyaksikan hal serupa beberapa hari setelah itu). Nurul Liza, yang paling banyak membantu saya dalam kegiatan literasi di Titian, juga merupakan salah satu alumni Titian, dan sekarang dia terus menyalakan cahaya literasi di perpustakaan Titian Bayat. Dia memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk mendorong anak-anak dan remaja membaca lebih banyak buku dan dia sendiri seorang yang gemar membaca buku.
Setelah hari itu, kegiatan saya tidak pernah berhenti. Karena beberapa remaja ingin tahu mengenai buku yang saya terbitkan dalam beberapa tahun terakhir, saya dan Titian sepakat untuk memberikan mereka sesi berbagi mengenai buku-buku saya, kisah bagaimana saya menjadi penulis, dan juga bagaimana saya mendirikan komunitas. Kami memiliki sesi khusus tersebut sebanyak dua kali; satu sesi di SMP (SMPN 1 Bayat) di dalam Perpustakaan Abisatya (perpustakaan ini juga direkonstruksi dan dikembangkan oleh Titian Foundation) dan satu di CLC Titian Bayat. Ketika saya melakukan sesi di SMPN 1 Bayat, saya cukup terkejut ketika seorang remaja yang duduk di barisan belakang memiliki salah satu buku saya dan meminta saya untuk menandatanganinya.
Kegiatan yang saya lakukan di Bayat semuanya mengisi saya secara spiritual. Saya berbicara dengan para remaja sekolah menengah atas yang datang dari sekolah yang berbeda setiap hari, ketika saya mendapat kesempatan di sore hari (ketika mereka kembali dari sekolah) di Community Learning Centre. Mereka sering mengunjungi bangunan CLC untuk belajar, menyelesaikan pekerjaan rumah, atau bergaul dengan teman-teman mereka. Dengan hati gembira, saya menjalin pertemanan dengan beberapa dari mereka; bukan hanya karena saya seorang voluntir, namun juga karena kami telah membangun kepercayaan satu sama lain untuk bertukar pengetahuan dan membangun persahabatan. Saya merasa bahwa mereka memiliki keinginan kuat untuk berkembang ketika saya berinteraksi dengan mereka.
Para penerima beasiswa Titian selalu mengadakan pertemuan rutin di setiap hari Sabtu atau Minggu (itulah sebabnya mereka menamakannya ‘SG’ atau ‘Saturday/Sunday Gathering), di mana mereka dapat memiliki pengetahuan baru dari berbagai sumber yang disampaikan oleh staf, sukarelawan, atau tamu yang kompeten). Saya berkesempatan untuk memberikan tiga generasi penerima beasiswa (sekitar 200 remaja) wawasan tentang penggunaan media sosial. Beberapa hari kemudian, saya dan Nurul Liza mengunjungi sekolah dasar dan memberikan kelas singkat tentang media sosial untuk anak-anak. Untuk anak-anak PAUD, bersama Nurul Liza, saya mengunjungi sekolah dan membacakan buku interaktif anak. Setelah menghabiskan berminggu-minggu di Bayat, saya juga mendapat kesempatan untuk mengunjungi Titian Kaliurang, meski hanya untuk satu malam. Walaupun kunjungan tersebut sangat singkat, saya merasa beruntung bahwa saya masih memiliki kesempatan untuk berbagi dengan anak-anak Kaliurang tentang proses bagaimana saya menjadi seorang penulis dan betapa pentingnya literasi.
Tidak pernah dalam hidup saya, saya membayangkan betapa kuatnya pemberdayaan yang bisa dilakukan di suatu tempat yang berlokasi di tengah-tengah desa. Dalam perspektif sebagai voluntir, Titian Bayat sangatlah penuh dan kaya oleh berbagai kegiatan intelektual. Saya merasa bahwa kemampuan kognitif dan kreatif saya digunakan dan dikembangkan di setiap hari yang saya habiskan di Titian. Begitu saya bangun pagi di sana, saya tahu ada banyak hal baru yang bisa saya pelajari dan eksplorasi di Titian Bayat. Saya selalu takjub ketika saya mengingat kembali memori saya ketika pertama kali saya berinteraksi dengan anak-anak dan remaja itu. Terlibat dalam Titian membuat saya dua kali menggarisbawahi kenyataan bahwa kita semua, manusia — semuanya sama—kita memiliki kemampuan otak yang sama, kita berjuang bersama dalam mencari tahu bagaimana cara bertahan hidup dan menjalani hidup sepenuhnya. Menjadi seorang voluntir di Titian mengajarkan saya untuk bekerja dengan hati dan pikiran, sebenarnya hal tersebut agak tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata; namun pastinya ini merupakan salah satu pelajaran hidup yang harus dicoba oleh banyak orang.
Begitu saya kembali pulang ke rumah, saya pikir saya akan menangis, ternyata saya tidak menangis! Alasannya jelas karena saya tahu bahwa anak-anak dan remaja yang saya temui di Bayat dan Kaliurang ada di tangan yang baik—Titian menjembatani mereka kepada banyak pengetahuan dan peluang—Titian juga membantu mengurangi stigma bahwa pendidikan adalah hak istimewa. Pendidikan itu hak semua anak. Nah, seharusnya ada lebih banyak tempat seperti ini! (SL)