Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berkesempatan membahas perilaku konsumen dengan anggota Program Pembiayaan Mikro dari Titian Foundation (Titian).
Dengan iklan besar-besaran yang dilakukan oleh produsen, konsumen dibombardir dengan begitu banyak pilihan barang. Untuk desa terpencil seperti Bayat, Klaten, situasi ini diperparah lagi dengan adanya rentenir ritel atau ‘bank percil’, menyemburkan bujukan mautnya agar mau mengambil pinjaman mereka, sehingga mempersulit konsumen terhindar dari pembelanjaan yang tidak perlu atau semata-mata menghutang. Acap kali konsumen pada akhirnya tidak sadar terjebak dengan banyaknya tumpukan hutang.
Nyatanya, hutang tersebut tidak hanya digunakan untuk kegiatan produktif, tetapi juga untuk menutupi biaya sosial. Indonesia, sebagai masyarakat komunal, juga ada kelemahannya. Ada hukuman sosial yang dikenakan, terutama bagi masyarakat yang tinggal di desa kecil, jika mereka tidak turut berpartisipasi atau mengadakan kegiatan masyarakat, seperti mengunjungi orang sakit atau mengikuti arisan. Menjadi orang yang diremehkan atau diasingkan merupakan hal yang lebih menakutkan bagi penduduk desa dan mereka rela mengorek harta benda demi mendapatkan pengakuan terselubung tersebut.
Lily Kasoem, CEO dan Pendiri Titian, pada setiap kesempatan terus-menerus menasihatkan kepada orang tua penerima beasiswa, untuk memberikan kebebasan kepada anak-anak mereka sampai mereka kokoh berdiri sendiri. Namun, pada kenyataannya anak-anak ini kemudian disematkan beban yang mengharuskan membayar hutang orang tua mereka segera setelah masa pendidikan mereka selesai.
Diskusi semacam ini membuka wacana untuk membahas masalah mereka dan sekaligus mencari solusi yang bermanfaat bagi komunitas. Agar bisa berhasil, kuncilah adalah dengan melakukannya bersama-sama, sebagai kesepakatan bersama, dimulai dengan tetangga sekitar mereka sendiri dan kemudian ke komunitas yang lebih besar.